Archive for November, 2011

adah muhakkamah (hukum adat)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Qowaidh fiqhiyah mempunya beberapa induk  qaidah. Dalam makalah ini kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh yang kelima yaitu Al ‘aadah Muhakkamah (Adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hokum) yang diambil dari Kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hokum  dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

II. Rumusan Masalah

  1. Pengertian Al ‘aadah Muhakkamah
  2. Dasar kaidah Al ‘aadah Muhakkamah
  3.  Kaidah-kaidah cabang Al ‘aadah Muhakkamah

III. Tujuan Penulisan

Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah Al ‘aadah Muhakkamah yaitu pengertia, dasar dan kaidah-kaidah cabangnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. 1.      Pengertian Al ‘aadah Muhakkamah

Al-‘aadah muhkamah secara bahasa al-‘aadah diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’awadah ( المعاودة) yang artinya berulang (التاكر ار).

Ibnu nuzaim mendifinisikan al-‘aadah dengan

عبارة عما يستقق ر في ا لنفو س من الا مو ر المتكررة المقبولة عند الطباع الساليمة

“sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri,perkara yang berulang-ulang yang biasa diterima oleh tabi’at(perangai)yang sehat.”

Menurut al-Jurjani:

العادة ا استمر النفس عليه على حكم المعقول وعا دوا اليه مرة بعد اخرى

“Al-‘aadah ialah sesuatu(perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus”.

Para ulama mengartikan  al-‘aadah dalam pengertian yang sama dengan al-urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda,misalnya al-‘urf di definisikan dengan:

العرف هو ما تعارف عليه الناس واعتاده فى اقوالهم وافعالهم حتى طار ذالك مطردا غالبا

‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”

Menurut abdul wahab khalaf:

العرف هو ما تعارفه النس وسار عليه من قول او فعل اوترك ويسمى العادة وفى لسان الشرعيين لافرق بين العرف والعادة

 

“al-‘urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari:perkataan,perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.hal ini dinamakan pula dengan al-‘aadah.dan dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan al-‘aadah.

Dari memperhatikan ta’rif-ta’rif diatas, dan juga ta’rif  yang diberikan oleh ulama-ulama, dapat di fahami bahwa al-‘urf dan al-‘aadah adalah semakna, yang merupakan perbuatan atau perkataan.

Keduanya harus betul-betul telah berulang-ulang di kerjakan oleh manusia,sehingga melekat pada jiwa, dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat tabi’at yang sejahtera.

Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’.

Akan tetapi tidaklah termasuk dalam pengertian al-‘aadah dengan al-‘urf hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan dan tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: mu’amalah dengan riba, judi,saling menipu ,dan sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasa lagi keburukannya.

Diantara perbuatan yang hukumnya oleh rosulullah SAW ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadist:

قدالنبي صلى الله وسلم المدينة وهم يسلفون فىالسمار السنة والسنتين فقال: من سلف في شمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم ( اخرجه البجارى عن ابن عباس)

“ketika nabi SAW datang dimadinah,mereka (penduduk madinah) telah biasa member uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun.”

“maka nabi bersabda:barang siapa yang memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan waktu yang tertentu.”

Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam jual beli,  sewa menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya adalah merupakan dasar hokum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’ yang berlaku.

Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan:

كل ما ورد بهالثرع مطلقا ولا ظا بط له فيه ولا فى اللغة يرجه فيه الى العرف

“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.”

Seperti yang berlaku dalam jual beli, yaitu al-ihya’, menghidupkan tanah yang mati dan at-ta’rif  ,pengumuman tentang barang yang ditemukan, dan lain-lainnya.

Hal itu perlu adanya pemahaman dan pelaksanaannya juga dikembalikan pada kebiasaan yang berlaku dimana kesemuanya itu terjadi.

  1. 2.      Dasar kaidah Al ‘aadah Muhakkamah

مارا المسلمين حسنا فهو عندالله حسنا (اخرجه احمد عن مسعود)

apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka baik pula disisi allah

Sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaidah diatas firman allah:

ɋè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`t㠚úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ

“ dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh”.

(QS; al-a’raf: 199).

  1. 3.      Cabang-cabang kaidah al-a’aadah muhkamah

Cabang-cabang kaidah al-a’aadah muhkamah ada Sembilan, yaitu:

 استعمال الناس حخة يجب العامل

“Apa yang biasa perbuat oleh orang banyak  aadalah hujjah (alas an, argument dan dalil ) yang wajib diamalkan”

Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan dimasyarkat, menjadi pegangan, dalam arti setiap masyarakat menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaianya kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.

انما تعتبر العادة ضطرد ت او غلبت

“adat yag diangap (sebagai pertimbangan hokum) itu hanyalah adat yang berlaku umum”

Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hokum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus dilakukan yang bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: apabilas seseorang berlangganan majalah atau surat kabar, maka majalah dan surat kabar itu diantar kerumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalaha atau surat kabar tesebut maka ia bias complain ( mengadukan) dan menuntutnya kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.

العبرة للغالب الشائع لا لنادر

“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bulkan dengan yang jarang terjadi”

Ibnu Rus menggunakan ungkapan  lain, yaitu :

الحكم با امعتا دلا با النادر

hokum itu dengan yang biasa terjadi bukan yang dengan jarang terjadi.

contohnya : para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila menggunakan kaidah diatas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun. Demikina pula menentukan menopause dengan 55 tahun.

العرف عرفا كالمثروط ثرطا

“sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang di syatratkan dengan suatu syarat”

Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran.

المعروف بين التجار كا مشروط بينهم

“sesuatu yang tealah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka”

ٍٍSesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya dibidang mu’amalah saja, dan itupun dikalangan pedagang (aka dijelaskan lebih jauh dalam dhabit mu’amalah). Dimasukan disini dalam kaitannya dengan kaidah al-adah muhkamah

اتعيين بالمعروف كاالتعيين باالنص

“ketentuan berdasarkan urf seperti berdasarkan nash”

Maksud  kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan urf yang memenuhi syarat. Adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti ketetapan hokum berdasarkan nash. Contohnya : apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal dirumah atau toko tersebut, maka sipenyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan ijin orang yang menyewakan.

الممتنع عا دة كالممتنع حقيقة

“ sesuatu  yang tidak berlaku  berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”

Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. Contohnya: seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut. Sama halnya seperti seseorang mengaku anak si A tetapi ternyata umur dia lebih dia tua dari umur si A yang diakui sebagai bapaknya.

الحقيقة تترق بدلالة العادة

 “ arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan Karena ada petunjuk ari menurut adat”

Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain ditunjukan oleh adat kebiasaan. Contohnya: yang dimaksud jual beli adalah penyerahan uang dan peneriamaan barang oleh sipembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi, apabila sipembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka sipenjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga naik.

الاء ذ ن ا لعرفى كا لاءذ ن اللفظى

“ pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian menurut ucapan”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Simpulan

  1. “Al-‘aadah ialah sesuatu(perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus”.

Para ulama mengartikan  al-‘aadah dalam pengertian yang sama dengan al-urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda,misalnya al-‘urf di definisikan dengan: ‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”

al-‘urf dan al-‘aadah adalah semakna, yang merupakan perbuatan atau perkataan.

  1. Dasar hokum kaidah al-‘aadah muhkamah adalah:

مارا المسلمين حسنا فهو عندالله حسنا (اخرجه احمد عن مسعود)

 apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka baik pula disisi allah

  1. Cabang-cabang kaidah al-‘aadah muhkamah ada sembilan, seprti yang telah disebutkan satu persatu diatas.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Mujib, Abdul. Kaidah-kaidah ilmu fikih, kalam Mulya, Jakarta: 2008

Djazuli.A, Kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah hokum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2007

Djazuli.A, Ilmu Fikih Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hokum Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta :2010

 

 

tindak pidana dalam hak cipta

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Pengertian Dan Ruang Lingkup Hak Cipta

Beberapa istilah dan pengertian dalam lingkup hak cipta, adalah sebagai berikut:

–          pencipta adalah seseaorang atau beberapa orang secara bersama-sama  yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

–          Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau orang lain yan g menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut diatas.

–          Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk  khas apapun juga dalam lapangan ilmu,seni dan sastra.

–          Pengumuman adalah pembacaan, penyuaraan, penyiaran atau penyebaran suatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan denngan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain.

–          Perbanyakan adalah menambah jumlah sesuatu ciptaan, dengan perbuatan yang sama, hampir sama atau menyerupai ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan sesuatu ciptaan.

–          potret   adalah gambaran dengan cara dan alat apapun dai wajah orang yang digambarkan baik bersama bagian tubuh lainnya maupun tidak.

–          Program computer atau computer program adalah program yang diciptakan secara khusus sehingga memungkinkan computer melakukan fungsi tertentu.

  1. B.     Perlunya Pendaftaran Hak Cipta

Satu prinsip perlunya diadakan pendaftaran terhadap suatu hak cipta adalah untuk memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta.  Pendaftaran ini tidak mutlak diharuskan, karena tanpa pendaftaranpun hak cipta dilindungi, hanya mengenai ciptaan yang tidak didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu pembuktian hak ciptanya dari ciptaan yang didaftarkan.

Pendaftaran ciptaan dilakukan secara fasif, artinya bahwa semua permohonan pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak emohon, kecuali jika sudah jelas ada tindak pidana hak cipta.

Dalam undang-undang dianut system pendaftaran negative deklaratif, seperti juga yang digunakan dalam pendaftaran merk dan pendaftaran tanah. Pada umumnya dalam hal terjadi sengketa, pada hakim diserahkan untuk mengambilke putusan.

Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan diselenggarakan oleh departemen kehakiman, mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, isi atau bentuk dari ciptaan yang didaftarkan.

Cara pendaftaran atas karya cipta suatu ciptaan, yaitu:

  1. Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta ke menteri kehakiman melalui direktur patent dan hak cipta dengan surat rangkap dua, ditulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas polio berganda bermaterai temple.
  2. Isi surar permohonan:
    1. Nama lengkap, kewarganeagaraan dan alamat pencipta
    2. Nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta.
    3. Nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat kuasa.
    4. Jenis dan judul ciptaan.
    5. Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali.
    6. Uraian ciptaan rangkap tiga.

Dengan disertai:

  • Biaya pendaftaran seperti ditentukan oleh menteri kehakakiman.
  • Contoh ciptaan atau penggatinya serta
  • Bukti tertulis yang menerangkan tentang kewarganegaraannya.
  1. Bila pemohon suatu badan hokum, maka dalam surat permohonannya harus dilampirkan turunan resmi akta pendirian badan hokum tersebut. Dan bila permohonan ditandatangani oleh seorang kuasa, maka harus dilampirkan surat kuasanya.
  2. Permohon akan diberikan tanda terima yang berisikan nama pencipta, pemegang hak cipta ; nama kuasa; jenis dan judul ciptaan; tanggal dan jam surat diterima.
  3. Permohonan daftar ciptaan yang telah memenuhi persyaratan diatas, oleh direktur paten dan hak cipta diperiksa, apakah permohon benar-benar sebagai penciptanya atau pemegang hak atas ciptaan yang dimohonkan, yang selanjutnya disampaikan kepada menteri kehakiman untuk mendapat keputusan.
  4. Keputusan menteri kehakiman akan diberi tahukan kepada pemohon oleh direoktorat paten dan hak cipta, disamping pendaftaran tersebut diumukan dalam tambahan berita Negara RI oleh departemen kehakiman.
  1. C.    Penyidik Hak Cipta

Penyidik hak cipta berwenang melakukan penagkapan tersangka pelaku tindak pidana hak cipta tanpa surat perintah, akan tetapi harus segera menyerahkan tersangka tersebut beserta barang buktinya kepada penyidik kepolisian dan harus segera melaporkan kejadian dimaksud kepada kantor wilayah departemen kehakiman setempat, guna mendapat perintah tugas penyidik.

Dalam kenyataan penanganan tindak pidana hak cipta, banyak juga yang disidik  oleh pihak polri. Secara subsantif hali ini sering terjadi tunpang tindih ( overlapping ) dalam penanganannya. Disatu pihak disebutkan bahwa wewenang penyidikan di bidang hak cipta, melulu ada pada pejabat pegawai negeri sipil terteuntu dilingkungan departemen kehakiman dan dipihak lain polri merupakan coordinator dan pengawas dari penyidik pegawai negeri sipil.

Kiranya perlu dipertimbangkan kedudukan polri sebagai penyidik, sebagai kamtibnas yang sarana, jangkauan dan personalnya merata/menyebar di mana-mana diseluruh wilayah Indonesia, bahwa status tindak pidana hak cipta merupakan bagian dari tindak pidana umum.

  1. D.    Perlindungan Hukum Hak Cipta

Lebih lanjut terhadap perlindungan hokum hak cipta ini, perlu diuraikan terlebih dahulu, tentang ciptaan apa saja yang dilindungi, berapa lama masa berlaku/perlindungan haknya, dan upaya atau langkah apa yang harus dilakukan, bila si pemegang hak cipta atau ahli warisnya telah dilanggar haknya.

Adapun ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang meliputi karya:

  1. Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;
  2. Ceramah,kuliah, pidato dan sebagainya;
  3. Pertunjukan seperti musik, karawitan, drama, tari, pewayangan, pantonim, dan karya siaran antara lain untuk media radio, televise, dan film, serta karya rekaman video;
  4. Ciptaan tari ( koreografi ), , dan karya rekaman suara atau bunyi;
  5.  Segala bentuk seni rupa seperti seni likes, seni pahat, seni patung dan kaligrafi yang perlindungannya diatur dalam pasal 10 ayat (2);
  6. Seni batik;
  7. Arsitektur;
  8. Peta;
  9. Sinemtografi;
  10. Fotografi;
  11. Program computer atau computer program;
  12. Terjamahan tafsir, saduran, dan penyusunan bunga rampai;

Dalam pasal 26 ayat ( I ) UUHC , dijelaskan bahwa hak cipta atas ciptaan :

  1. Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;
  2. Seni tari ( koreografi );
  3. segala bentuk seni rupa seperti lukis, seni pahat, seni patung;
  4. seni batik;
  5. ciptaan lagu atau music dengan atau tanpa teks, dan
  6. karya arsitektur.

Berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.

Untuk hak cipta atas ciptaan, berupa:

  1. Pertunjukan seperti musik, karawitan, drama, tari, pewayangan, pantonim, dan karya siaran antara lain untuk media radio, televise, dan film, serta karya rekaman video;
  2. Ceramah,kuliah, pidato dan sebagainya;
  3. Peta;
  4. Karya sinematografi;
  5. Karya rekaman atau bunyi;
  6. Terjamahan atau tafsiran.

Berlakau selama 25 tahun sejak pertama kali diumumkan.

Perlu ditambahkan bahwa seorang pemilik hak cipta atau ahli warisnya juga dilengkapi dengan pasal 41 UUHC , yaitu hak untuk menuntut seseorang  yang tanpa persetujuannya:

  1. Meniadakan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan itu;
  2. Mencantumkan namanya dalam ciptaan tersebut;
  3. Mengganti/mengubah judul ciptaan tersebut;

Mengubah isi ciptaan tersebut untuk menyesuaikan dengan  pendapat umum.

Disamping itu, pemegang atas hak cipta yang sebenarnya, berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri setempat, dengan surat gugatan yang di tandatangani sendiri atau kuasanya.

Prinsip dalam pemberian perlindungan hak cipta yang di anut dalam undang-undang ini, ialah pemberian perlindungan kepada semua ciptaan warga Negara Indonesia dengan tidak memandang tempat dimana ciptaan diumumkan pertama kali.

BAB II

TINDAK PIDANA HAK CIPTA

  1. A.    Jenis Tindak Pidana Hak Cipta

Didalam undang-undang nomor 7 tahun 1987 sendiri tidak memuat secara rinci jenis-jenis tindak pidana hak cipta tersebut. Yang jelas dalam lingkupilmu pengetahauan, kesenian dan kesusantraan.

Pasal 44 undang-undang dimaksud, antara lain berbunyi:

1)      ”barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanayak suatu ciptaan atau member izin untuk itu……”

2)      “ barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan dan menjual kepada umum suatu ciptaan atau’ barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud ayat (1)…..”

3)      “ abarangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan pasal 16…”

4)      “ barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan pasa 18…..”

Selain jenis tindak pidana tersebut, sesungguhnya bila dikupas lebih dalam tindak pidana hak cipta, juga melanggar ketentuan dalam pelaturan perundang-undangan lainnya.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang semakin majau telah memungkinkan para pelaku tindak pidana dibidang hak cipta untuk melakukan tindak pidaan nyaris sempurna, khususnya dibidang perekaman, baik cassette audio maupun cassette video.

Pembajakan buku di Indonesia juga tidak kalah penting dalam meramaikan tindak pidana hak cipta dengan peralatan yang semakin lengkap dan canggih.

  1. B.     Faktor Yang Menyebabkan Tindak Pidana Hak Cipta

Secara ringkas faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana dibidang hak cipta dapat disebabkan antara lain sebagai berikut:

Pada dasarnya memang berkisar pada keinginan untuk mencari keuntungan financial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pemegang hak cipta. Dampak dari kegiatan tindak pidana tersebut teelah sedemikian besarnya terhadap tatanan kehidupan bangsa dibidang ekonomi dan hokum.

Di bidang ssosial budaya, dampak yang timbul, dari semakin meluasnya pembajakan tersebut begitu ragam. Bagi para pelaku tindak pidana atau para pembajak, keadaan yang berlarut-larut tanpa tindakan, akan semakin menimbulkan sikap bahwa pembajakan sudah merupakan hala yang biasa dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang.

Dengan kata lain faktor terjadinya tindak pidana hak cipta adalah, karena peluangnya lebih banyak dan memberikan keuntungan yang lebih kecil, dan masih lemahnya system pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta. Upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelaku pembajakan belu mampu menagkal si pembajak untuk jera.

  1. C.    Sanksi Tindak Pidana Hak Cipta

Berbicara sanki terhadap tindak pidana hak cipta, ingatan kita terus terpancang kembali kepada undang-undang nomor 6 tahun 1982. Undang-undang tersebut tidak berumur panjang. Alasannya, belum mampu berperan dalam menangkal pembajak atau pelaku-pelaku tindak pidana hak cipta dengan berbagai jenis dan bentuk modus operasinya.

Atas dasar itulah, sanksi pidana dalam undang-undang nomor 6 tahun 1982 ditingkatkan menjadi lebih berat dari pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda setinggi-tingginya 5.000.000,- (lima juta rupiah)- vide pasal 44 ayat 1 undang-undang nomor 6 tahun 1982 berubah menjadi pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak 100.000.000,-( seratus juta rupiah )- vide pasal 44 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1987.

Disamping sanksi pidana seperti tersebut diatas diubah, perubahan lain yang boleh dibilang mendasar, adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 undang-undang nomor 6 tahun 1982 tidak dapat dituntut kecuali atas pengaduan dari pemegang hak cipta yang dirugikan.

Penambahan pasal lain dalam undang-undang hak cipta yang baru yang berkenaaan dengan sanksi tindak pidananya adalah :

“ ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta, dirampas untuk Negara guana dimusnakan”. Termasuk dalam pasal 45 undang-undang nomor 7 tahun 1987.

BAB III

ANALISIS TINDAK PIDANA HAK CIPTA

  1. A.    Beberapa Permasalahan Dalam Tindak Pidana Hak Cipta

Porsi penjabaran uraian ini, adalah berkisar tentang kasus tindak pidana hak cipta berikut dampak negatifnya, baik bagi Negara; produsen; pencipta atau pemilik hak cipta dan juga tidak kalah pentingnya adalah dampak terhadap Negara-negara lain yang sudah mengadakan perjanjian bilateral, maupun multilateral tentang perlindungan hokum hak cipta dengan Indonesia.

Permaslahan lain berpulang pada undang-undang hak cipta itu sendiri, yang memang tidak memuat secara rinci berbagai jenis tindak pidana hak cipta.

Yang paling pokok adalah bagaimana menangkap sumber yang sebernanya dari permasalahan, yakni permintaan konsumen, melalui pendidikan dan melalui usaha untuk membatasi kesempatan untuk memperoleh hasil produksi bajakan. Untuk membatasai kesempatan memperoleh produksi tersebut, kadang-kadang menindak para pedagang eceran sama pentingnya dengan menindak para pembuatnya. Dan pencegahan paling efektif terhadap tindak pidana pembajakan adalah pencegahan yang berdampak langsung pada para pembajaknya sendiri.

Bagi masyarakat sebagai konsumen, semakin pula tumbuh sikap yang tidak lagi memandang perlu untuk mempertanyakan apakah sesuatu barang tersebut merupakan hasil pelanggaran hokum atau tidak. Makin tumbuh sikap acuh tak acuh mengenai yang baik atau yang buruk, apa yang sah dan tidak sah, kendati Negara kita adalah Negara hokum.

  1. B.     Kasus Tindak Pidana Hak Cipta

Salah satu kasus tindak pidana hak cipta jenis pembajakan buku yang menarik untuk diketengahkan dalam tulisan ini , adalah:

Pembajakan buku yang terjadi di wilayah hokum Jakarta timur, menurtu tim anti pembajakan atau penyidik perkara tersebut, pada tempat usaha percetakan ini ditemukan antara lain 38 judul buku bajakan milik dari 19 penerbit, disamping itu terdapat berbagai mesin pencetak untuk membuat film dan plat. Perusahaan percetakan ini mempunyai tenaga kerja sebanyak 16 orang.

Kasus posisinya adalah sebagai berikut:

Bahwa terdakwa TB, Direktur CV. MK di Jakarta, pada oktober 1987 sampai dengan agustus 1988, bertempat di percetakan CV. MK, Jakarta, sebagai gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri, tanpa izin dari yang berhak, terdakwa dengan sengaja telah menambah jumlah sesuatu ciptaan dengan perbuatan yang sama, hampir sama, atau menyerupai suatu ciptaan, dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama, yaitu dengan cara terdakawa memperbanyak jumlah buku-buku dari buku-buku yang telah beredar dipasaran atau dijual ditoko-toko.

Buku-buku tersebut diperbanyak dengan proses perbanyakan sebagai berikut:

  1. Buku bahan gandaan difoto dengan kamera nuart yang hasilnya dalam bentuk film;
  2. Film tersebut diproses kedalam mesin plat merk duplomant, yang menghasilkan plat;
  3. Plat dipasang pada mesin cetak merk dominant, dan lembaran-lembaran buku cetak dengan menggunakan kertas ½ plano;
  4. Lembaran-lembaran yang telah dicetak kemudian diberi sampul dan jilid dengan menggunakan mesin jilid/jahit buatan RRC;
  5. Buku-buku yang sudah dijilid kemudian dirapihkan dengan mesin potong;
  6. Buku-buku hasil perbanyakan melalui proses diatas, sama atau hampir sama atau menyerupai buku semisalnya;

Kasus demikian ini seperti dan diancam pidana pada pasal 44 ayat I undang-undang nomor 7 tahun 1987 undang-undang nomor 6 tahun 1982 yo pasal 65 KUHP.

Kasus lain adalah pembajakan buku olahraga yang juga terjadi di Jakarta timur. Kasus singkatnya sebagai berikut:

Para terdakwa baik secara pribadi maupundirektur dan wakil direktur suatau perusahaan dengan sengaja dan tanpa hak telah memperbanyak dan mengedarkan buku-buku karangan Drs. AS. Bermula antara pengarang buku “ pendidikan olahraga dan kesehatan ” jilid 2 sampai 6 untuk SD; jilid 1 sampai 3 untuk SMP; dan jilid 1 sampai 3 untuk SMA; telah ada hubungan kerja, yakni sejak tahun 1975. Perusahan ini disamping mencetak juga mengedarkan/memasarkannya. Sejak tanggal 20 mei 1989 kontrak meraka berakhir.

Pengarang dimaksud member tahu agar perusahaan tidak lagi mencetak ulang buku-buku karangannya dan agar menarik semua buku-buku dari peredaran, terhitung sejak tanggal 15 oktober 1989.

Namun, oleh karena buku-buku sangat laku keras yang diharapkan dapat keuntugan lebih, maka mereka terdakwa mencetak kembali, antara lain dengan menyurutkan tahun percetakan menjadi 1984 dan mengubah nama pencipta Drs. AS menjadi Drs AP, judul “ pendidikan olahraga dan kesehatan ” menjadi “ pendidikan jasmani”, yang sebagian isinya diubah, tetapi sampul buku anatara yang asli dan yang dipalsukan ( dibajak ), keduanya dama, kompas 19 juni 1991.

  1. C.    Upaya Penyelesaian Kasus-Kasus Tindak Pidana Haka Cipta

Memang faktor yang paling mendasar dalam upaya penyelesaian kasus-kasus tindak pidana, khususnya dibidang hak cipta adalah bertumpu pada penegakan hokum itu sendiri.

Dalam penegakan hokum hak cipta, terlibat berbagai pihak, antara lain:

  1. Dimulai dari pencipta atau pihak yang berhak atas suatu ciptaan. Diperlukan dari mereka atau perwakilannya suatu keterangan/penyelesaian terhadap adanya tindak pidana hak cipta ats suatu ciptaan yang digandakan tanpa hak. Sebab dari penciptalah yang paling mengetahui apakah karya ciptaannya ini asli atau bajakan.
  2. Diperlukan kerja sama antara pemerintah/intasi yang berwenang dengan asosiasi-asosiasi yang bergerak dibidang kary cipta, seperti : IKAPA, ASIRI, IPKIN, PAPRI, APNI, KADIN dan lain sebagainya untuk memantau perkembangan, guna memudahkan aparat penegak hokum dalam menditeksi keadaan atau tindak pidana dalam hak cipta.
  3. Disamping itu semua tidak kalah peranannya dalam penyelesaian kasus-kasus tindak pidana hak cipta, adalah berpangkal pada man behind the gunnya. Dalam hal ini penulis maksudkan adalah aparat penegak hokum hak cipta.

Sumber:

Widyopramono, Tindak Pidana Hak Cipta Analisis Dan Penyelesaiannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.

fatwa dsn tentang potongan pelunasan dalam murabahah

BAB I

PENDAHULUAN

  1. 1.      Latar belakang masalah

Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung lembaga keuangan sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka.

Bank Syari’ah Mandiri (BSM) merupakan Salah satu bank syari’ah yang kegiatan operasionalnya  menerakan system pembiayaan atau murabahah. Salah satu pembiayaan yang ditawarkan adalah untuk pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pembiayaan tersebut merupakan produk pembiayaan yang paling diminati oleh nasabah dibandingkan dengan produk pembiayaan lain seperti pembiayaan griya BSM, pembiayaan kredit motor, dan lain-lain. Saat ini persentase Pembiayaan Murabahah dalam BSM mencapai 70% sedangkan 30% nya adalah pembiayaan bagi hasil. Dalam persentase 70% tersebut, segmen usaha kecil mencapai 56% .

  1. 1.      Rumusan masalah
  2. Bagaimana Pembiayaan Murabahah oleh Bank Syariah Mandiri
  3. Bagaimana implementasi pembiayaan Murabahah BSM kepada Usaha Kecil
  4. 3.      tujuan penulisan

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

Sistem Pembiayaan Murabahah

1.Pengertian Murabahah

Pengertian mengenai murabahah bermacam-macam yang mengartikannya

antara lain:

  1. Dalam Penjelasan Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa murabahah adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
  2. Dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah disebutkan bahwa murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.
  3. Dalam Fikih Islam, pada awalnya murabahah merupakan bentuk jual beli yang tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Murabahah dalam Islam berarti jual beli ketika penjual memberitahukan kepada pembeli biaya perolehan dan keuntungan yang diinginkannya. Namun dengan bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan syariah dengan menambah beberapa konsep lain. Setelah itu diubah menjadi bentuk pembiayaan. Dalam pembiayaan ini, bank sebagai pemilik dana membelikan barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang membutuhkan pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah yang membutuhkan pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah tersebut dengan penambahan keuntungan tetap. Sementara itu, nasabah akan mengembalikan utangnya di kemudian hari secara tunai maupun cicil.[1]
  4. Bank Syariah Mandiri mengartikan murabahah adalah suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank ditambah dengan margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan. Bank Syariah Mandiri mengartikan Pembiayaan Murabahah sebagai pembiayaan yang berdasarkan akad jual beli antara bank dan nasabah dengan kondisi bank membeli barang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan margin yang disepakati.[2]

Pengertian mengenai pembiayaan telah disebutkan juga diatas yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Bank Syariah. Namun pengertian Pembiayaan juga terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah , adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Selain itu di dalam Pasal 1 angka 3 PBI Nomor 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah disebutkan secara lebih rinci mengenai pembiayaan, yaitu penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapatdipersamakan dengan itu dalam transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad Mudharabah dan/atau Musyarakah; transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Akad Ijarah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah Muntahiyah bit Tamlik); transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad Murabahah, Salam, dan Istishna; transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad Qardh (akad pinjaman dari bank kepada pihak tertentu yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sam sesuai pinjaman. Bank dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada pihak tertentu. Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran atau sekaligus); dan transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Kafalah.  Dalam Undang-Undang ini pun memberikan pengertian mengenai Akad. Dijelaskan bahwa Akad merupakan kesepakatan tertulis antara Bank dengan nasabah dan/atau pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.

Murabahah mempunyai dua bentuk yaitu:[3]

  1.  Murabahah Sederhana

Murabahah sederhana adalah bentuk akad murabahah ketika penjual memasarkan barangnya kepada pembeli dengan harga sesuai harga perolehan ditambah margin keuntungan yang diinginkan.

  1. Murabahah kepada Pemesan

Murabahah ini melibatkan tiga pihak yaitu pemesan, pembeli dan penjual. Bentuk murabahah ini juga melibatkan pembeli sebagai perantara karena keahliannya atau karena kebutuhan pemesan akan pembiayaan. Bentuk murabahah inilah yang diterapkan perbankan syariah dalam pembiayaan.

 

2.Dasar Hukum Pembiayaan Murabahah

Setiap pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah tentunya mempunyai suatu dasar yang kuat untuk dapat melaksanakan hal tersebut. Pada umumnya dasar yang digunakan berasal dari al-qur’an, hadits dan Fatwa MUI yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.

Dasar hukum pelaksanaan murabahah dalam sumber utama hukum Islam

adalah sebagai berikut:[4]

  1. QS.al-Baqarah (2):275, “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
  2. HR.al-Baihaqi dan Ibnu Majah (Dari Abu SA’id al-Khudri bahwa Rasullulah SAW. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan suka sama suka”).

Pembiayaan murabahah telah diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam Fatwa tersebut disebutkan ketentuan umum mengenai murabahah yaitu sebagai berikut:[5]

  1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
  3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
  4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
  6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah
  8. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Aturan mengenai nasabah pun Fatwa mengaturnya. Nasabah yang menggunakan pembiayaan murabahah adalah :

  1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
  2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
  3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasaba harus menerima (membeli) nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
  4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
  5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
  6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
  7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka bila nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga namun jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Untuk hal jaminan dalam fatwa ini dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya dan bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Sedangkan untuk hutang dalam murabahah telah diatur sebagi berikut:

  1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.
  2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
  3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Dalam hal pembiayaan, sering ditemukan mengenai penundaan pembiayaan yang dilakukan oleh para nasabah. Hal yang harus diperhatikan bila terjadi penundaan Pembayaran dalam Murabahah adalah:

  1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.
  2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Namun jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai nasabah yang bersangkutan menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

Di sisi yang lain, diatur pula mengenai uang muka dalam kegiatan murabahah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 13/DSN-MUI/IX/200038 memuat mengenai hal tersebut dimana ketentuan umum uang muka tersebut adalah dalam akad pembiayaan murabahah Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat, besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan, jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut, jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah, jika jumlah uang muka lebih besar darimkerugian maka LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.

Apabila selama jangka waktu pembiayaan murabahah nasabah tidak bias menyelesaikan atau melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, maka Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang bersangkutan seperti yang tercantum dalam aturan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 49/DSNMUI/ II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah yaitu dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

  1. Akad murabahah dihentikan dengan cara:
    1. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;
    2. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
    3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah;
    4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah.
    5. LKS dan nasabah eks-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad:
      1. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut diatas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang Al Ijarah Al- Muntahiyah Bi Al-Tamlik;
      2. Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau
      3. Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN no.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah

Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

 

 

3. Rukun Pembiayaan Murabahah

Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam setiap transaksi ada beberapa yaitu:[6]

  1. Penjual (ba’i) adalah pihak yang memiliki barang untuk dijual,
  2. Pembeli (musytari) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli barang. (Dalam hal ini pihak harus memenuhi kriteria bahwa pihak tersebut cakap hukum, sukarela dalam pengertian tidak dalam keadaan dipaksa/terpaksa/di bawah tekanan) Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga).[7]Harga dalam hal ini pun sudah harus jelas berapa jumlahnya. Harga inilah yang akan ditambahkan margin oleh Bank Syariah yang akan disepakati oleh pihak nasabah. Bank Syariah berperan sebagai pembeli dari pihak penjual.  Objek tersebut berkriteria:[8]
  3. tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang,
  4.  bermanfaat
  5. enyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan
  6. merupakan hak milik penuh pihak yang berakad
  7. sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dengan yang diterima pembeli.
  8. Shighah, yaitu Ijab (serah) dan Qabul (terima). Akad harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad, antara ijab dan qabul harus selaras baik spesifikasi barang maupun harga dari objek tersebut, tidak menggantungkan pada klausul yang baru akan terjadi pada hal/kejadian yang akan datang.[9]

4.Konsep Dasar Pembiayaan Murabahah

Kegiatan murabahah yang dilakukan antara pihak bank dan pihak nasabah mempunyai beberapa konsep dasar yang harus dipahami satu sama lain, yaitu:[10]

1. Pembiayaan murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga.

Pembiayaan murabahah adalah jual beli komoditas dengan harga tangguh

yang termasuk margin keuntungan di atas biaya perolehan yang disetujui

bersama.

2. Bank Islam akan memberikan kredit Murabahah sebesar harga barang

modal atau harga barang dagangan yang paling baik yang diajukan oleh

penerima kredit Bank Islam akan membayarkan secara tunai langsung

kepada pemasok yang ditunjuk atas nama penerima kredit.45

3. Sebagai bentuk jual beli dan bukan bentuk pinjaman, pembiayaan

murabahah harus memenuhi semua syarat-syarat yang diperlukan untuk

jual beli yang sah.

4. Murabahah dapat digunakan nasabah ketika memerlukan dana untuk

membeli suatu komoditas/barang (terutama bagi pengusaha produsen

yang hendak memperluas usaha dengan cara menambah peralatan

modalnya seperti mesin-mesin, dan sebagainya berikutnya akan

ditujukan kepada usaha-usaha yang dapat menunjang pengembangan

pengusaha produsen seperti kredit untuk penambahan modal kerja, kredit

untuk pedagang perantara, dan kredit untuk peningkatan daya beli

konsumen barang-barang yang dihasilkan pengusaha produsen nasabah

Bank Islam).46

5. Penerima kredit memilih sendiri barang apapun yang diperlukan,

memilih pemasok yang dipercaya, tawar-menawar untuk memperoleh

harga yang paling baik dengan pemasok, kemudian mengajukan

permohonan kredit Murabahah sebesar harga barang yang diperlukan

kepada Bank Islam.47

44 Ascarya, Op.Cit.,hlm. 85-88.

45 H.Karnaen A.Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Prinsip Operasional

Bank Islam, (Jakarta:Risalah Masa, 1992), hlm.72.

46 Ibid., hlm.71.

47 Ibid., hlm.72.

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

34

Universitas Indonesia

6. Pemberi pembiayaan harus telah memiliki komoditas/barang sebelum

dijual kepada nasabahnya.

7. Komoditas/barang harus sudah dalam penguasaan pemberi pembiayaan

secara fisik atau konstruktif, dalam arti bahwa risiko yang mungkin

terjadi pada komoditas tersebut berada di tangan pemberi pembiayaan

meskipun untuk jangka waktu pendek.

8. Pemberi pembiayaan membeli komoditas dan menyimpan dalam

kekuasaannya atau membeli komoditas melalui orang ketiga sebagai

agennya sebelum menjual kepada nasabah.

9. Jual beli tidak dapat berlangsung kecuali komoditas/barang telah dikuasai

oleh penjual, tetapi penjual dapat berjanji untuk menjual meskipun

barang belum berada dalam kekuasannya.

10. Komoditas/barang dibeli dari pihak ketiga.

11. Semua surat-surat dan tanda bukti pemilikan atas nama penerima kredit,

disimpan oleh Bank Islam sebagai jaminan hutang.48

12. Jika terjadi wanprestasi nasabah dalam hal pembayaran yang jatuh

tempo, harga tidak boleh dinaikkan.

2.2.5.Tujuan Pembiayaan Murabahah

Tujuan pemberian kredit Murabahah adalah untuk mendukung

pengembangan para pengusaha produsen di bidang pertanian, perikanan, industri

kecil dan industri rumah tangga dan lain-lain dengan cara menyediakan fasilitas

kredit tanpa penyimpangan bagi pengusaha yang pada saat memerlukan tambahan

barang modal tidak mempunyai dana yang cukup.49 Bank Syariah mempunyai

peranan untuk membantu para nasabahnya yang ingin memajukan kegiatan

usahanya. Barang yang akan dipesan oleh nasabah kepada Bank Syariah akan

berguna untuk kemajuan usaha dari pihak nasabah itu sendiri.

2.2.6. Pihak yang secara umum terkait dalam Pembiayaan Murabahah

Secara umum dalam Pembiayaan Murabahah, pihak yang terkait adalah:

48 Ibid., hlm.73.

49 Ibid.,hlm.71.

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

35

Universitas Indonesia

a. Pemberi Pembiayaan (Pihak Bank)

b. Penerima Pembiayan (Pihak Nasabah)

Dalam hal ini Pemberi Pembiayaan (Pihak Bank) membelikan barang sesuai

dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang membutuhkan pembiayaan,

kemudian menjualnya ke nasabah tersebut dengan penambahan keuntungan tetap.

Sementara itu, nasabah akan mengembalikan utangnya di kemudian hari secara

tunai maupun cicil.50

Jika diringkas secara lebih singkat, proses yang terjadi adalah :

1. Bank dan nasabah negosiasi dan persyaratan

2. Bank beli barang tunai dari supplier penjual

3. Bank dan nasabah mengadakan kesepakatan tentang akad murabahah

4. Bank dan nasabah serah terima barang

5. Bank dan nasabah kirim barang

6. Nasabah membayar kewajiban kepada bank

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab iii

Pembahasan

aplikasi Pembiayaan Murabahah oleh Bank Syariah Mandiri

Ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Syariah Mandiri dalam

Pembiayaan Murabahah

Bank Syariah Mandiri sebagai bank yang cukup besar dalam kontribusi

pemberian pelayanan pembiayaan murabahah tidak menetapkan persyaratan yang

menyulitkan untuk pihak nasabah. Hanya dengan memenuhi persyaratan umum

yang ditetapkan dan pemenuhan mengenai unsur-unsur serta konsep dasar dari

pembiayaan murabahah itu sendiri, maka nasabah yang bersangkutan akan

mendapatkan pembiayaan Murabahah dari Bank Syariah Mandiri. Hal yang

terpenting mengenai objek dari pembiayaan murabahah oleh Bank Syariah

Mandiri adalah harus jelas barang objek yang dimaksud, fungsi dan manfaat serta

implementasi objek tersebut dalam kegiatan usaha dari nasabah itu sendiri harus

51 http://www.syariahmandiri.co.id.

52 Siti Nurfalinda <snurfalinda@bi.go.id>

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

37

Universitas Indonesia

benar-benar jelas.53 Hal ini sesuai dalam penjelasan Pasal 2 point c Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

2.3.3.Persyaratan dalam pengajuan Pembiayaan Murabahah

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah untuk

Pembiayaan yang Konsumtif (pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan).54

Persyaratan yang harus dipenuhi jika nasabah berstatus:55

a. Pegawai adalah:

1. Identitas diri dan pasangan

2. Kartu keluarga dan surat nikah

3. Slip gaji 2 bulan terakhir

4. SK Pengangkatan terakhir

5. Copy rekening bank 3 bulan terakhir

6. Data obyek pembiayaan

b. Wiraswasta adalah:

1. Identitas diri dan pasangan

2. Kartu keluarga dan surat nikah

3. Legalitas usaha

4. Laporan keuangan 2 tahun

5. Past performance 2 tahun terakhir

6. Rencana usaha 12 bulan yang akan datang

7. Data obyek pembiayaan

Selain pembiayaan konsumtif. yang ada juga pembiayaan produktif.

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah untuk Pembiayaan yang

Produktif (pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi

53 Claudia, Wawancara, dengan pihak Kabag Supporting (Divisi Pembiayaan Kecil Mikro

dan Program), Nur Miftachul Umam, (Jakarta, 10 Maret 2010).

54 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta:Gema Insani,

2001), hlm.160.

55 http://www.syariahmandiri.co.id.

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

38

Universitas Indonesia

dalam arti luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan,

maupun investasi)56 dan nasabah berstatus :

a. Badan Usaha adalah:

1. Akte pendirian usaha

2. Identitas pengurus

3. Legalitas usaha

4. Laporan keuangan 2 tahun

5. Past performance 2 tahun terakhir

6. Rencana usaha 12 bulan yang akan datang

7. Data obyek pembiayaan

b.Perorangan adalah:

1. Identitas diri dan pasangan

2. Kartu keluarga dan surat nikah

3. Legalitas usaha

4. Laporan keuangan 2 tahun

5. Past performance 2 tahun terakhir

6. Rencana usaha 12 bulan yang akan datang

7. Data obyek pembiayaan

Untuk jaminan, Bank Syariah Mandiri mensyaratkan berupa kelayakan

usaha atau jaminan tambahan ataupun piutang. Jadi jaminan tidak harus berupa

barang yang dibeli oleh bank untuk nasabah.57 Untuk hal jaminan bila sudah di

Hak Tanggungan kan, maka Bank Syariah Mandiri mengusahakan agar dapat

menjadi Kreditor Preference. Bila Barang jaminan sudah di fiduciakan kepada

pihak lain, maka Bank Syariah Mandiri tidak dapat menerima barang tersebut

sebagai jaminan.

Dalam ketentuan Bank Syariah Mandiri, hal-hal yang secara umum harus

dipenuhi dalam hal pembiayaan murabahah ini, yaitu:58

a.Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli

barang.

56 Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit., hlm.160.

57 Claudia, Wawancara, dengan pihak Kabag Supporting (Divisi Pembiayaan Kecil Mikro

dan Program), Nur Miftachul Umam, (Jakarta, 10 Maret 2010).

58 http://www.syariahmandiri.co.id

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

39

Universitas Indonesia

b.jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank

ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;

c.Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang

yang telah disepakati kualifikasinya;

d.Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang,

maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip

menjadi milik Bank;

e.Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka saat

menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;

f.Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain

barang yang dibiayai Bank;

g.Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak

berubah selama periode Akad;

h.Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara

proporsional.

i. Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bank

syariah memiliki produk-produk pembiayaan yang bervariasi dan dapat

disesuaikan dengan kebutuhan riil pada diri nasabah, baik itu nasabah

perorangan maupun badan usaha. Untuk itu yang dibutuhkan berikutnya

kaitannya dengan pengembangan UKM adalah diperlukannya optimalisasi

pembiayaan produktif yang ada melalui penerapan prinsip-prinsip

pengelolaan bank sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undangundang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berikut peraturan-peraturan

pelaksanaannya.

2.3.4.Proses Pembiayaan Murabahah

Bank Syariah Mandiri dalam memberikan pembiayaan Murabahah yang

merupakan jual beli, tentunya ada yang didapatkan oleh bank. Pendapatan bank

dari proses ini disebut margin. Perlu dibedakan antara pendapatan dalam

murabahah dengan pendapatan dari mudharabah dan musyarakah. Perbedaan

tersebut terletak dalam peruntukkannya.

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

40

Universitas Indonesia

Biasanya Mudharabah dan musyarakah dilakukan pembiayaan terhadap

modal kerja. Hasil dari pembiayaan ini disebut bagi hasil atau nisbah. Sedangkan

Murabahah prosesnya adalah Bank membelikan sesuatu atas kebutuhan nasabah

dalam bentuk barang. Barang ini digunakan oleh nasabah untuk mendukung

dalam nasabah menjalankan usahanya.

Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan atas barang tertentu kepada

bank. Setelah itu, Bank memberikan pembiayaan itu dengan memberlikan barang

tersebut. Misalnya harga barang tersebut 100. Maka bank menghargai barang

tersebut senilai 115 (harga jual sebesal 115). Pemberian margin sebesar 15 adalah

berdasarkan kebijakan bank atas kemampuan nasabah dan kebijakan bank internal

itu sendiri. Nilai 115 merupakan nilai gross yang terdiri atas harga pokok dan

margin. Harga pokoknya adalah 100 sedangkan pendapatan margin bank adalah

sebesar 15.

Nasabah dalam melunasi pinjamannya dilakukan dengan cara angsuran,

(sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSNMUI/

IV/2000 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tentang

Produk bank Syariah dan Unit Usaha Syariah) tentunya hal ini memberikan

keringanan kepada nasabah. Sehingga diharapkan dengan diberikannya pelayanan

oleh bank, nasabah dapat meningkatkan kesejahteraannya.

2.3.5.Ketentuan Margin yang diterapkan dalam Pembiayaan Murabahah

Bank Syariah Mandiri dalam memberikan pelayanan kepada nasabah berupa

pembiayaan murabahah memberikan margin dalam setiap pembiayaan yang

dilakukan. Dalam menetapkan margin yang diberikan ke nasabah ada faktor yang

menjadi pertimbangan dari Bank Syariah Mandiri yaitu :59

a. kemampuan nasabah

b. kebijakan dari bank syariah mandiri

Misalnya harga suatu barang yang diinginkan oleh nasabah A untuk

mendukung kegiatan usahanya senilai Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) maka

bank memberikan pembiayaan murabahah kepada nasabah A. Bank membelikan

59 Claudia, Wawancara, dengan pihak Kabag Supporting (Divisi Pembiayaan Kecil Mikro

dan Program), Nur Miftachul Umam, (Jakarta, 10 Maret 2010).

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

41

Universitas Indonesia

barang tersebut untuk nasabah A, namun barang itu dihargai oleh bank senilai Rp.

115.000.000 (seratus lima belas juta rupiah). Dalam contoh ini bank menetapkan

margin sebesar 15%. (Rp. 115.000.000 merupakan nilai gross yang terdiri atas

harga pokok dan margin). Namun bila nantinya nasabah A mengalami usaha yang

tidak lancar, bank dapat menurunkan margin tersebut. Kebijakan ini diambil bank

berdasarkan kemampuan nasabah dan kebijakan bank itu sendiri.

2.5. Implementasi Pembiayaan akad Murabahah Bank Syariah Mandiri

kepada Usaha Kecil

2.5.1. Implementasi Pembiayaan akad Murabahah Bank Syariah Mandiri

kepada Usaha Kecil.63

Bank Syariah Mandiri memandang peranan bank syariah dalam

perekonomian adalah sebagai kerangka ekonomi makro dalam menggerakkan

roda perekonomian masyarakat dalam lingkup mikro kecil sampai dengan

korporasi. Hal ini dikarenakan seluruh aspek dan model dapat dimasuki oleh

perbankan syariah.

Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya selalu

mengutamakan transparansi dan usaha mikro kecil mendapatkan penurunan

angsuran pokok sehingga risiko untuk tidak terbayarnya angsuran oleh nasabah

62 http://sharialearn.wikidot.com.

63 Claudia, Wawancara, dengan pihak Kabag Supporting (Divisi Pembiayaan Kecil Mikro

dan Program), Nur Miftachul Umam, (Jakarta, 10 Maret 2010).

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

44

Universitas Indonesia

menjadi kecil serta bank syariah sering menjadi fasilitator usaha kecil untuk

mendapatkan peluang kerja dan bahkan menjadi pemilik usaha.

Dalam pembiayaan murabahah, nasabah mengkredit atau mengangsur dalam

pelunasan atas pembiayaan yang diperolehnya. Pemberian kredit oleh bank

kepada nasabah tentunya melewati suatu prosedur pengajuan kredit dan analisa

bank terhadap nasabah itu sendiri. Analisa yang dilakukan oleh bank antara lain

mengenai yang memenuhi kriteria 5C. Kriteria ini merupakan bagian yang

terpenting dalam mengevaluasi nasabah dan kualifikasi pemberian kredit.

Pemenuhan terhadap kriteria ini menandakan bahwa nasabah yang bersangkutan

merupakan orang yang sempurna untuk mendapatkan pembiayaan. Kriteria 5C

tersebut antara lain:64

1. Character adalah data tentang kepribadian dari calon pelanggan seperti sifatsifat

pribadi, kebiasaan-kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang

keluarga. Character ini untuk mengetahui apakah nantinya calon nasabah ini

jujur berusaha untuk memenuhi kewajibannya.

2. Capacity merupakan kemampuan calon nasabah dalam mengelola usahanya

yang dapat dilihat dari pendidikannya, pengalaman mengelola usahanya,

sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami masa sulit apa

tidak, bagaimana mengatasi kesulitan yang dihadapinya). Capacity ini

merupakan ukuran dari kemampuan dalam membayar angsuran pembiayaan.

3. Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang

dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur

permodalan, ratio-ratio keuntungan. Dari kondisi tersebut bisa dinilai apakah

layak calon pelanggan diberi pembiayaan, dan beberapa besar plafon

pembiayaan yang layak diberikan.

4. Collateral adalah jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon

pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya. Collateral ini

diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu kesangsian

dalam pertimbangan-pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta yang

mungkin bisa dijadikan jaminan.

64 http://ngenyiz.blogspot.com.

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

45

Universitas Indonesia

5. Condition, pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi

ekonomi yang dikaitkan dengan prospek usaha calon nasabah. Ada suatu

usaha yang sangat tergantung dari kondisi perekonomian, oleh karena itu

perlu mengaitkan kondisi ekonomi dengan usaha calon pelanggan.

Untuk hal margin, pihak Bank Syariah Mandiri dapat menurunkan margin

dari pinjaman nasabah. Namun tentunya ada beberapa ketentuan yang berlaku

untuk penurunan margin ini. Salah satu faktornya adalah usia pembiayaan sudah

lebih dari 6 bulan dan lancar. Hal ini dipandang oleh Bank Syariah Mandiri,

nasabah yang bersangkutan merupakan nasabah yang taat untuk membayar

pinjaman. Jika nasabah tersebut tidak membayar sesuai waktunya setelah 6 bulan

usia pinjaman, maka ada hal yang terjadi pada nasabah itu. Dalam situasi ini,

pihak bank dapat melakukan penurunan margin. Selain itu, jika situasi margin

pembiayaan dari bank-bank syariah lainnya sedang mengalami penurunan, maka

Bank Syariah Mandiri memberikan kemudahan lainnya kepada nasabah, yaitu

menurunkan margin atas pinjaman yang dilakukan oleh nasabah.

Oleh karena itu, dengan adanya Bank Syariah ini dapat membantu usaha

mikro kecil untuk mendapatkan rasa keadilan serta nasabah dapat merasa tentram

dan tenang. Atas pembiayaan murabahah yang diberikan oleh Bank Syariah

Mandiri, nasabah diberikan keuntungan selain hal yang telah disebutkan di atas.

Keuntungan yang lainnya adalah harga jual yang ditetapkan telah disepakati oleh

bank dan nasabah dan nasabah dalam membayar kepada bank dilakukan secara

angsuran atau cicilan.

Bank Syariah Mandiri dalam melayani transaksi haruslah transaksi itu jelas.

Kejelasan yang dimaksud adalah kejelasan secara keseluruhan baik alat produksi,

sasaran penjualan dan pendapatan perkiraan tiap bulannya.

Pada saat ini, di Bank Syariah Mandiri persentase Pembiayaan Murabahah

dalam Bank Syariah Mandiri telah mencapai 70% sedangkan 30% nya adalah

pembiayaan bagi hasil. Dalam persentase 70% tersebut, segmen usaha kecil

mencapai 56%. Persentase Murabahah ini dapat tingkat yang tinggi karena bank

ingin mendapatkan return yang pasti. Tentunya deposan berharap mendapatkan

keuntungan atas uang yang ditabung di bank. Kepastian Pembayaran tentunya

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

46

Universitas Indonesia

juga merupakan keuntungan bagi deposan yang menaruh dananya di bank syariah

ini.

Nasabah yang melakukan pinjaman dapat memberikan jaminan dapat

berupa kelayakan usaha, jaminan tambahan serta piutang. jadi jaminan tidak harus

barang yang dibeli oleh bank untuk nasabah. Dalam praktek nasabah yang tidak

mempunyai jaminan apapun dapat menerima pembiayaan dari Bank Syariah

Mandiri. Pembiayaan ini disebut visible non bankable. Ada yang lebih mudah lagi

yaitu pembiayaan yang sangat visible non bankable, dalam hal ini nasabah tidak

perlu membayar margin. Uang yang diberikan oleh bank berasal dari keuntungan

bank. dana CSR. Jadi Bank Syariah Mandiri dalam memberikan pelayanan dapat

menjangkau dari masyarakat ekonomi menengah kebawah sampai menengah

keatas.65

Pengaturan dan Pengawasan terhadap bank-bank syariah dilakukan oleh

Bank Indonesia. Kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia meliputi:66

1. Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk

menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan

pemberian izin oleh BI meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha

bank, pemberian izin pembukuan, penutupan dan pemindahan kantor bank,

pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian

atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk

mejalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate) yaitu kewenangan untuk

menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan

perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu

memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.

3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control) yaitu kewenangan

melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site

supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision).

Pengawasan langusng dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan

khusus, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan

65 http://www.syariahmandiri.co.id

66 Bank Indonesia, Op.Cit., hlm.12-13.

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

47

Universitas Indonesia

keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap

peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktikpraktik

yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank.

Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan

seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan

dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya apabila diperlukan BI dapat

melakukan pemerisaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi

perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan

debitur bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI

melaksanakan tugas pemeriksaan.

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction) yaitu

kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundangundangan

terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi

ketentuan tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi

sesuai dengan asas perbankan yang sehat.

Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan

sistem pengawasan dengan menggunakan dua pendekatan67 yakni pengawasan

berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan

berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS). Dengan adanya pendekatan RBS

tersebut, bukan berarti mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan,

namun merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pengawasan sehingga

dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengawasan perbankan. Secara

bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan oleh BI akan beralih menjadi

sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko.

1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan

Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya

menekankan pemmantauan kepada bank untuk melaksanakan

ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank.

67 Ibid., hlm.13-14.

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

48

Universitas Indonesia

Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan

utnuk memastikan bahwa bank telah beroerasi dan dikelola secara baik

dan benar menurut prinsip kehati-hatian.

2. Pengawasan Berdasarkan Risiko

Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko merupakan pendekatan

pengawasan yang berorientasi ke depan. Dengan menggunakan

pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan

pada risko-risiko yang melekat pada aktivitas fungsional bank serta

sistem pengendalian risiko Melalui pendekatan ini akan lebih

memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam

melakukan pencegahan terhadap permasalaha yang potensial timbul di

bank.

Dalam pengawasan yang dilakukan oleh BI diadakan pula penilaian tingkat

kesehatan Bank Umum Syariah yang mencakup penilaian terhadap faktor-faktor

sebagai berikut permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan

sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian peringkat komponen atau rasio

keuangan pembentuk faktor permodalan, kualiats aset, rentabilitas, likuiditas dan

sensitivitas terhadap risiko pasar dihitung secara kuantitatif sedangkan penilaian

peringkat komponen pembentuk faktor manajemen dilakukan melalui analisis

dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan unsur judgement.68

Bila memperhatikan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008,

pengawasan Bank Indonesia pun melalui penetapan terhadap bank syariah yang

mempunyai kewajiban untuk melaporkan rencana pengeluaran produk baru

kepada Bank Indonesia. (Pasal 2 PBI Nomor 10/17/PBI/2008). Produk yang

dikeluarkan harus sesuai dengan Prinsip Syariah yang mengacu pada fatwa

Majelis Ulama Indonesia dan ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan

Prinsip Syariah dalam kegiatan usaha Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Laporan rencana pengeluaran porduk baru harus disampaikan paling lambat

15 hari sebelum produk baru tersebut dikeluarkan. Bank Indonesia memberikan

penegasan atas laporan tersebut paling lambat 15 hari sejak seluruh persyaratan

68 Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, Vol 5, ISSN 1858-4233, (Jakarta: Bank

Indonesia Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, 2008), hlm.138.

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

49

Universitas Indonesia

dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap. Bank dilarang

mengeluarkan Produk baru dalam jangka waktu 15 hari, apabila belum

memperoleh penegasan tidak keberatan dari Bank Indonesia. Apabila dalam

jangka waktu 15 hari setelah persyaratan dipenuhi secara lengkap tetapi Bank

Indonesia belum memberikan penegasan, maka Bank dapat mengeluarkan Produk

baru dimaksud. (Pasal 3).

Dalam jangka waktu paling lambat 10 hari setelah Produk baru dimaksud

dikeluarkan maka Bank wajib melaporkan realisasi pengeluaran Produk baru

tersebut kepada Bank Indonesia. (Pasal 5). Hal mengenai produk yang

bersangkutan, Bank wajib memberikan penjelasan kepada Bank Indonesia dan

wajib menghentikan kegiatan Produk tersebut bila tidak memenuhi yang

ditentukan, tidak sesuai dengan Prinsip Syariah dan tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. (Pasal 7)

Di Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/25/DPNP Perihal tentang

Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah

dibahas mengenai perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan.

Perhitungan bunga dalam hal ini adalah cara-cara perhitungan yang digunakan

Bank untuk menetapkan besarnya bunga yang harus dibayar atau diterima

Nasabah. Informasi mengenai perhitungan bunga antara lain meliputi:

a. Metode perhitungan bunga, antara lain flat dan efektif

b. Sifat perhitungan bunga yaitu tetap atau mengambang

c. Jumlah hari yang digunakan untuk menghitung besarnya bunga

Perhitungan bagi hasil dan margin keuntungan dalam hal ini adalah caracara

perhitungan yang digunakan oleh Bank yang melaksanakan kegiatan usaha

berdasarkan prinsip syariah untuk mengetapkan besarnya bagi hasil dan margin

keuntungan Bank yang harus dibayar Nasabah dan atau besarnya bagi hasil yang

akan dierima Nasabah. Informasi mengenai perhitungan bagi hasil dan margin

keuntungan antara lain meliputi:

a. Metode bagi hasil yang digunakan yaitu profit loss sharing atau revenue

sharing

b. Nisbah bagi hasil untuk Bank dan Nasabah

c. Besarnya persentase margin keuntungan Bank

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

50

Universitas Indonesia

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS Perihal tentang

Produk bank Syariah dan Unit Usaha Syariah memberikan analisis dan

identifikasi resiko atas pemberian Murabahah oleh Bank adalah risiko pembiayaan

yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi serta risiko pasar yang disebabkan oleh

pergerakan nilai tukar jika pembiayaan atas dasar akad murabahah diberikan

dalam valura asing.

Berkaitan dengan pembayaran secara angsuran oleh nasabah kepada bank,

kebijakan kredit perbankan sesuai Surat keputusan Direksi Bank Indonesia, Bank

Syariah Mandiri telah mengatur pula mengenai ketentuan hal tersebut.

Program diberikan kepada Perorangan, Badan Usaha di semua sektor

indutri, untuk keperluan produktif dengan lamanya usaha minimal 2 (dua) tahun

menurut penilaian bank dapat dibiayai dengan kondisi:

1. Mempunyai potensi usaha dan atau komoditas yang diusahakan sudah

mempunyai pasar.

2. Mempunyai prospek usaha yang layak dan mampu menyerap tenaga kerja.

3. Mempunyai legalitas dan perijinan usaha sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Usaha tersebut memenuhi ketentuan dan persyaratan Pembiayaan yang

berlaku serta dinyatakan layak oleh BSM.

5. Tidak termasuk dalam daftar kredit macet atau kredit bermasalah.

6. Mengusulkan proposal pinjaman/kredit sesuai dengan kebutuhan usaha.

Dokumen Permohonan Pembiayaan

Form Surat Permohonan Pembiayaan (SPP) I Surat tertulis dari nasabah,

dengan melampirkan:

1. Legalitas nasabah perorangan (KTP I SIM I Paspor, KK, Akta nikah, Surat

persetujuan istri/suami,

2. Legalitas badan usaha (SIUP, SIUK, SIU Industri, SIU Peternakan dll.

TDP, SITU, NPWP, Akta Pendirian)

3. Lap. Keuangan 2 tahun terakhir

4. Past performace usaha 1 tahun

5. Rencana usaha 1 tahun ke depan

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

51

Universitas Indonesia

6. Bukti kepemilikan agunan

Persyaratan Pembiayaan

1. Kebutuhan UMKM yang dibiayai adalah investasi dan/atau modal kerja

layak untuk dibiayai berdasarkan alas pembiayaan yang sehat dan tidak

sedang dibiayai fasilitas Pembiayaan bank lainnya

2. Pembiayaan dapat disalurkan langsung ke nasabah atau melalui LKMS

(Lembaga Keuangan Mikro Syariah)

3. Maksimum Pembiayaan adalah Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta).

4. Jangka Waktu Pembiayaan untuk modal kerja 3 (tiga) tahun, apabila

diperlukan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di

BSM dan Investasi 5 (lima) tahun dan sesuai dengan analisa kelayakan

serta ketentuan Pembiayaan yang berlaku pada BSM.

Margin/bagi hasil pembiayaan setinggi-tingginya setara dengan 16% efektif

per tahun. Selanjutnya akan dilakukan analisa sesuai ketentuan yang berlaku.

2.5.2. Statistik Pembiayaan Murabahah kepada Usaha Kecil

Bank-bank Syariah yang menjalankan kegiatan Murabahah pada akhir

tahun harus menyerahkan kepada Bank Indonesia mengenai data pembiayaan

Murabahah yang diberikan ke masyarakat. Bank Indonesia mempunyai data

mengenai hal tersebut. Implementasi pembiayaan murabahah oleh Bank Syariah,

berupa data industri pembiayaan murabahah perbankan syariah untuk UMKM

dengan rincian sebagai berikut:69

DATA PEMBIAYAAN MURABAHAH PERBANKAN

SYARIAH KEPADA UMKM

No Tahun Bulan ke Jumlah (Jutaan Rupiah)

1 2005 1 6,738,089

69 Siti Nurfalinda <snurfalinda@bi.go.id>

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

52

Universitas Indonesia

2 2005 2 6,756,015

3 2005 3 7,368,594

4 2005 4 7,638,496

5 2005 5 7,753,473

6 2005 6 7,565,106

7 2005 7 7,503,679

8 2005 8 7,490,133

9 2005 9 7,100,173

10 2005 10 6,176,059

11 2005 11 6,074,299

12 2005 12 6,350,059

13 2006 1 6,497,855

14 2006 2 6,472,009

15 2006 3 6,784,426

16 2006 4 7,185,351

17 2006 5 7,455,822

18 2006 6 8,008,383

19 2006 7 8,229,346

20 2006 8 8,373,825

21 2006 9 8,894,481

22 2006 10 9,219,911

23 2006 11 9,319,372

24 2006 12 9,391,323

25 2007 1 9,366,465

26 2007 2 9,647,191

27 2007 3 9,830,890

28 2007 4 9,970,883

29 2007 5 10,261,555

30 2007 6 10,597,257

31 2007 7 10,874,503

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

53

Universitas Indonesia

32 2007 8 11,106,135

33 2007 9 11,307,023

34 2007 10 11,636,779

35 2007 11 11,657,347

36 2007 12 11,955,013

37 2008 1 11,152,970

38 2008 2 11,695,231

39 2008 3 12,286,618

40 2008 4 12,692,566

41 2008 5 13,456,939

42 2008 6 14,129,078

43 2008 7 14,610,991

44 2008 8 15,395,682

45 2008 9 16,062,054

46 2008 10 16,531,132

47 2008 11 16,636,387

48 2008 12 16,204,033

49 2009 1 16,206,475

50 2009 2 16,601,698

51 2009 3 16,757,263

52 2009 4 16,976,778

53 2009 5 17,600,905

54 2009 6 18,382,178

55 2009 7 18,635,958

56 2009 8 18,915,190

57 2009 9 19,299,214

58 2009 10 19,986,084

59 2009 11 20,519,138

60 2009 12 21,474,544

61 2010 1 21,625,354

Pembiayaan murabahan…, Claudia, FH UI, 2010.

54

Universitas Indonesia

62 2010 2 22,702,457

Tabel Pembiayaan Murabahah Perbankan Syariah Kepada UMKM

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa dari tahun 2005 ke 2006 pembiayaan

murabahah naik, sedangkan dari tahun 2006 ke 2007 serta 2007 ke 2008

pembiayaan murabahah turun dan pada tahun berikutnya yaitu tahun 2008 ke

2009 dan 2009 ke 2010 pembiayaan murabahah naik kembali. Hal ini

memberikan gambaran bahwa pada tahun 2010, masyarakat sudah semakin

memanfaatkan pembiayaan murabahah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Ascarya;Diana Yumanita, Op.Cit., hlm. 27.

[3] Ascarya, Akad&Produk Bank Syariah, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2007),hlm.

89-90.

 

[4] Wirdyaningsih. Et al. Op.Cit., hlm. 132.

[6] Ascarya, Op.Cit.,hlm. 82.

[7] Tim Pengembang Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk

Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta:Djambatan, 2003), hlm.77.

[8] ibid

[9] H.Karnaen A.Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Prinsip Operasional

Bank Islam, (Jakarta:Risalah Masa, 1992), hlm.72

[10] Ascarya, Op.Cit.,hlm. 85-88.

fikih perbankan

muamalah

ibadah

akhlak

aqidah

syariah

islam

 SKEMA HUKUM ISLAM

jinayah

Hokum-hukum syari’ah khususnya fikih sangat terkait dengan segala aktifitas yang dilakukan oleh seorang mukallaf, baik berupa ucapan, tidakan, akad atau transaksi lainnya. Secara garis besar dapat dikategorikan menjadi:

  1. Hokum ibadah ( fikih ibadah), yang meliputi tata cara bersuci, puasa, haji, nazar, zakat, dan  aktifitas sejenis terkait dengan  hubungan hamba dengan tuhannya.
  2. Hokum muamalah ( fikih muammalah), untuk fikih muammalah pembahasan yang ada sangat luas, mulai dari hukum pernikahan,transaksi jual beli,hokum pidana, hokum perdata, hokum perundang-undangan dan hokum kenegaraan,ekonomi dan keuangan, akhlak dan etika dan lainnya yang terkait antara hubungan manusia atau hubungan dengan masyarakat luas.

Konsep Dasar  Fikih Muammalah

Sebagai sIstem kehidupan, islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunias ekonomi. System islam ini berusaha mendialektikan nila-nilai ekonomi atau nilai akidah atau etika. Artinya, kegiatan ekonomi manusia dibangun dengan dialektika  nilai materialism dan spiritualisme. Kegiatan  Ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nila materi, akan tetapi terdapat sandaran transcendental didalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu konsep dasar islam dalam kegiatan muammalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap hokum nilai-nilai humanism. Diantara kaidah fikih muam malah adalah sebagai berikut:

  1. Hokum asal dalam muammalah adalh mubah ( diperbolehkan).

Ulama fikih sepakat bahwa hokum asal dalam transaksi muammalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita boleh mengatakan bahwa sebuah transaksi  boleh sepanjang  belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbedda dengan ibadah , bahwa hukum asalnya adalah dilarang, kita tidak melakukan ibadah jika tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada allah tidak bias dilakukan jika tidak terdapat syari’at darinya.

Allah berfirman : “ katakanlah,ntan terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. Katakanlah,  apakah allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini, atau kamu mengada-ada saja terhadap allah? ”( QS. Yunus:59 ).

Ayat ini mengindikasikan bahwa allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muammalah, selain itu syari’ah juga dapat mengkomordir transaksi modern yang berkembang.

Konsep Fikih Muammalah Untuk Mewujudkan Kemaslahatan

Fikih muammalah akan senantiasa mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan diantara manusia. Allah tidak menurunkan syari’ah kecuasli dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahat hidup hambanya, tidak bermaksud member beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia.

Islam Dan Perbankan Syariah

Dewasa ini masih banyak anggapan bahwa islam adalah islam menghambat kemajuan. Beberapa garuh ke Indonesia.para pemikir barat.

Kesimpulan yang agak tergesa-gesa ini hamper dapat dipastikan timbul karena kesalaha pahaman terhadap islam. Seolah-olah islam hanya merupakan agama ritual, bukan sebagai system yang komprehensip dan mencakup aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta industry perbankan sebagai salah satu motor penggerak  roda perekonomian.

Perkembangan bank syariah di Indonesia

Perkembanhan bank-bank syariah dinegara-negara islam berpengaruh ke indonesia. Prakarsa untuk mendirikan bank islam di indonesia oleh keinginan masyarakat Indonesia (terutamamasyarakat Islam) yang berpandangan bunga merupakan riba, sehingga dilarang oleh  agama. Dari aspek hukum, yang mendasari perkembangan bank syariah di Indonesia adalah UU No 7 Tahun 1992. Dalam UU tersebut prinsip syariah masih samar, yang dinyatakan sebagai prinsip bagi hasil. Prinsip perbankan syariah secara tegas dinyatakan dalam UU No 10 Tahun  1998, yang kemudian diperbaharuhi dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No 3 tahun 2004.  selanjutnya karena undang-undang sebelumnya dianggap belum spesifik  sehingga perlu diatur secara khusus dalm undang-undang tersendiri, maka pemerintah mengaluarkan undang-undang no.21/2008 tentaang perbankan syariah.. Dengan demikian, perkembangan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah dimulai pada tahun 1992, yang diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank yang menggunakan prinsip syariah pertama di Indonesia.

Prinsip Dasar Dalam Akad Perbankan Syari’ah

Prinsip syariah menjadi aturan dasar yang membentuk pola dan mengatur hubungan bank syariah baik intern (pengaturan manajemen usaha) maupun ekstern (pengaturan hubungan dengan nasabah/masyarakat). Berkaitan dengan pengaturan hubungan dengan nasabah terdapat terdapat lima prinsip dasar perbankan syariah dalam melakukan transaksi yaitu prinsip titipan atau simpanan (depository), prinsip bagi hasil (profit sharing), prinsip jual beli (sale dan purchase), prinsip sewa (operational lease and financial lease) dan prinsip jasa (fee-based service) (Satyo dan Izza, 2000).

  1. 1.      Prinsip Titipan Atau Simpanan (Depository/Al-Wadi’ah)

Prinsip ini dikenal juga dengan prinsip al wadi’ah. Nasabah menitipkan uang atau barangnya kepada pihak bank sebagai titipan murni, dan pihak bank tidak berhak menggunakan uang atau barang yang dititipkan. Namun demikian, pihak bank dapat saja menggunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu dengan meminta izin terlebih dahulu dari nasabah yang menitipkan tersebut.

Bank dapat memanfaatkan al wadiah untuk tujuan current account (giro) dan saving account (tabungan berjangka), dan semua keuntungan dari dana titipan tersebut yang berupa dana bagi hasil dari user of fund menjadi milik bank. Nasabah penitip, mendapatkan keuntungan berupa jaminan keamanan terhadap hartanya dan fasilitas giro lainnya, serta insentif berupa bonus yang tidak dipersyaratkan sebelumnya.

2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)

Terdapat empat akad utama bagi hasil yaitu musyakarah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah. Dalam musyakarah masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Perbankan biasanya menggunakan prinsip ini dalam pembiayaan proyek maupun modal ventura.

Dalam mudharabah, pihak pertama (shahibul maal) menyediakan keseluruhan (100 %) modal dan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak, sedangkan kerugian akan ditanggung pemilik modal selama kerugian bukan akibat kelalaian pengelola. Perbankan dapat menerapkan hal ini pada tabungan berjangka untuk tujuan khusus seperti tabungan haji, qurban, untuk deposito biasa, juga untuk pembiayaan modal kerja. Selanjutnya, al muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen dimana benih tanaman berasal dari pemilik lahan. Sebaliknya, al Musaqah adalah bentuk sederhana dari al muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalannya, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

3. Prinsip Jual Beli (Sale Dan Purchase)

Terdapat tiga jenis jual beli yang dapat dikembangkan dalam pembiayaan modal kerja dan investasi perbankan syariah yaitu bai’al murabahah, bai’as salam dan bai’al istishna. Bai’al murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dan penjual harus memberitahu harga produk yang dibelinya.

Dalam perbankan, umumnya diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Bank Syariah memperoleh keuntungan dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.

Bai’as salam merupakan pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan di muka. Perbedaan dengan sistem ‘ijon’ dapat dilihat dari sisi barang dan penetapan harga beli. Dalam bai’as salam barang harus spesifik dan dapat ditimbang dengan jelas, serta penetapan harga beli dilakukan kedua belah pihak secara ridha. Bai’as salam dapat dipergunakan untuk pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Barang yang dibeli dapat berupa barang industri maupun barang non-industri.

Bai’al istishna adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, yang biasanya dipergunakan di bidang manufaktur. Kedua pihak sepakat atas harga dan sistem pembayaran, baik pembayaran dimuka, pembayaran cicilan ataupun ditangguhkan sampai pada waktu tertentu.

4. Prinsip Sewa (Operational Lease Dan Financial Lease)

Terdapat dia prinsip sewa yaitu al ijarah yang merupakan pemindahan hak guna atas barang atau jasa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut, dan al ijarah al muntahia bittamlik yaitu perjanjian sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan penyewa.

5. Prinsip Jasa (Fee Based Services)

Dalam perbankan syariah prinsip jasa ini meliputi lima bentuk transaksi yaitu berupa al wakalah yang dalam aplikasinya dapat berwujud seperti autodebet pembayaran rekening listrik, telepon dan lainnya, al kafalah dalam bentuk penjaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, al hawalah dalam bentuk pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, ar rahn yang berbentuk jaminan hutang atau gadai, dan al qard dalam bentuk meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan , yang umumnya diberikan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya.

Tentang Akad Murabahah Dan Aplikasi Pembiayaan Murabahah Oleh Bank Syariah Mandiri

  1. 1.      Pengertian Murabahah

Pengertian mengenai murabahah bermacam-macam yang mengartikannya

antara lain:

  1. Dalam Penjelasan Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa murabahah adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
  2. Dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah disebutkan bahwa murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.
  3. Dalam Fikih Islam, pada awalnya murabahah merupakan bentuk jual beli yang tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Murabahah dalam Islam berarti jual beli ketika penjual memberitahukan kepada pembeli biaya perolehan dan keuntungan yang diinginkannya. Namun dengan bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan syariah dengan menambah beberapa konsep lain. Setelah itu diubah menjadi bentuk pembiayaan. Dalam pembiayaan ini, bank sebagai pemilik dana membelikan barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang membutuhkan pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah yang membutuhkan pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah tersebut dengan penambahan keuntungan tetap. Sementara itu, nasabah akan mengembalikan utangnya di kemudian hari secara tunai maupun cicil.
  4. 2.      Dasar Hukum Pembiayaan Murabahah

Setiap pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah tentunya mempunyai suatu dasar yang kuat untuk dapat melaksanakan hal tersebut. Pada umumnya dasar yang digunakan berasal dari al-qur’an, hadits dan Fatwa MUI yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.

Dasar hukum pelaksanaan murabahah dalam sumber utama hukum Islam

adalah sebagai berikut:

  1. QS.al-Baqarah (2):275, “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
  2. HR.al-Baihaqi dan Ibnu Majah (Dari Abu SA’id al-Khudri bahwa Rasullulah SAW. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan suka sama suka”).

Pembiayaan murabahah telah diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam Fatwa tersebut disebutkan ketentuan umum mengenai murabahah yaitu sebagai berikut:[1]

  1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
  3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
  4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
  6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah
  8. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Aturan mengenai nasabah pun Fatwa mengaturnya. Nasabah yang menggunakan pembiayaan murabahah adalah :

  1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
  2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
  3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasaba harus menerima (membeli) nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
  4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
  5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
  6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
  7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka bila nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga namun jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Untuk hal jaminan dalam fatwa ini dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya dan bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Sedangkan untuk hutang dalam murabahah telah diatur sebagi berikut:

  1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.
  2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
  3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Dalam hal pembiayaan, sering ditemukan mengenai penundaan pembiayaan yang dilakukan oleh para nasabah. Hal yang harus diperhatikan bila terjadi penundaan Pembayaran dalam Murabahah adalah:

  1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.
  2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Namun jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai nasabah yang bersangkutan menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

Di sisi yang lain, diatur pula mengenai uang muka dalam kegiatan murabahah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 13/DSN-MUI/IX/200038 memuat mengenai hal tersebut dimana ketentuan umum uang muka tersebut adalah dalam akad pembiayaan murabahah Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat, besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan, jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut, jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah, jika jumlah uang muka lebih besar darimkerugian maka LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.

Apabila selama jangka waktu pembiayaan murabahah nasabah tidak bias menyelesaikan atau melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, maka Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang bersangkutan seperti yang tercantum dalam aturan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 49/DSNMUI/ II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah yaitu dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

  1. 1.      Akad murabahah dihentikan dengan cara:
    1. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;
    2. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
    3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah;
    4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah.
    5. 2.      LKS dan nasabah eks-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad:
      1. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut diatas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang Al Ijarah Al- Muntahiyah Bi Al-Tamlik;
      2. Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau
      3. Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN no.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah

Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

  1. 3.      Rukun Pembiayaan Murabahah

Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam setiap transaksi ada beberapa yaitu:

  1. Penjual (ba’i) adalah pihak yang memiliki barang untuk dijual,
  2. Pembeli (musytari) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli barang. (Dalam hal ini pihak harus memenuhi kriteria bahwa pihak tersebut cakap hukum, sukarela dalam pengertian tidak dalam keadaan dipaksa/terpaksa/di bawah tekanan) Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga).[2]Harga dalam hal ini pun sudah harus jelas berapa jumlahnya. Harga inilah yang akan ditambahkan margin oleh Bank Syariah yang akan disepakati oleh pihak nasabah. Bank Syariah berperan sebagai pembeli dari pihak penjual.  Objek tersebut berkriteria:[3]
    1. Tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang,
    2. Bermanfaat
    3. penyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan
    4. merupakan hak milik penuh pihak yang berakad
    5. sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dengan yang diterima pembeli.
    6. Shighah, yaitu Ijab (serah) dan Qabul (terima). Akad harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad, antara ijab dan qabul harus selaras baik spesifikasi barang maupun harga dari objek tersebut, tidak menggantungkan pada klausul yang baru akan terjadi pada hal/kejadian yang akan datang.
    7. 4.      Konsep Dasar Pembiayaan Murabahah

Kegiatan murabahah yang dilakukan antara pihak bank dan pihak nasabah mempunyai beberapa konsep dasar yang harus dipahami satu sama lain, yaitu:

  1. Pembiayaan murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga.
  2. Pembiayaan murabahah adalah jual beli komoditas dengan harga tangguh yang termasuk margin keuntungan di atas biaya perolehan yang disetujui bersama.
  3.  Bank Islam akan memberikan kredit Murabahah sebesar harga barang modal atau harga barang dagangan yang paling baik yang diajukan oleh penerima kredit Bank Islam akan membayarkan secara tunai langsung kepada pemasok yang ditunjuk atas nama penerima kredit.[4]
  4. Sebagai bentuk jual beli dan bukan bentuk pinjaman, pembiayaan murabahah harus memenuhi semua syarat-syarat yang diperlukan untuk jual beli yang sah.
  5. Murabahah dapat digunakan nasabah ketika memerlukan dana untuk membeli suatu komoditas/barang (terutama bagi pengusaha produsen yang hendak memperluas usaha dengan cara menambah peralatan modalnya seperti mesin-mesin, dan sebagainya berikutnya akan ditujukan kepada usaha-usaha yang dapat menunjang pengembangan pengusaha produsen seperti kredit untuk penambahan modal kerja, kredit untuk pedagang perantara, dan kredit untuk peningkatan daya beli konsumen barang-barang yang dihasilkan pengusaha produsen nasabah Bank Islam).[5]
  6. Penerima kredit memilih sendiri barang apapun yang diperlukan, memilih pemasok yang dipercaya, tawar-menawar untuk memperoleh harga yang paling baik dengan pemasok, kemudian mengajukan permohonan kredit Murabahah sebesar harga barang yang diperlukan kepada Bank Islam.[6]
  7. Pemberi pembiayaan harus telah memiliki komoditas/barang sebelum dijual kepada nasabahnya.
  8. Komoditas/barang harus sudah dalam penguasaan pemberi pembiayaan secara fisik atau konstruktif, dalam arti bahwa risiko yang mungkin terjadi pada komoditas tersebut berada di tangan pemberi pembiayaan meskipun untuk jangka waktu pendek.
  9. Pemberi pembiayaan membeli komoditas dan menyimpan dalam kekuasaannya atau membeli komoditas melalui orang ketiga sebagai agennya sebelum menjual kepada nasabah.
  10. Jual beli tidak dapat berlangsung kecuali komoditas/barang telah dikuasai oleh penjual, tetapi penjual dapat berjanji untuk menjual meskipun barang belum berada dalam kekuasannya.
  11.  Komoditas/barang dibeli dari pihak ketiga.
  12. Semua surat-surat dan tanda bukti pemilikan atas nama penerima kredit, disimpan oleh Bank Islam sebagai jaminan hutang.[7]
  13. Jika terjadi wanprestasi nasabah dalam hal pembayaran yang jatuhtempo, harga tidak boleh dinaikkan.
  1. 5.      Pihak yang secara umum terkait dalam Pembiayaan Murabahah

Secara umum dalam Pembiayaan Murabahah, pihak yang terkait adalah:

  1. Pemberi Pembiayaan (Pihak Bank)
  2. Penerima Pembiayan (Pihak Nasabah)

Dalam hal ini Pemberi Pembiayaan (Pihak Bank) membelikan barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang membutuhkan pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah tersebut dengan penambahan keuntungan tetap. Sementara itu, nasabah akan mengembalikan utangnya di kemudian hari secara tunai maupun cicil.

Jika diringkas secara lebih singkat, proses yang terjadi adalah :

  1. Bank dan nasabah negosiasi dan persyaratan
  2. Bank beli barang tunai dari supplier penjual
  3. Bank dan nasabah mengadakan kesepakatan tentang akad murabahah
  4. Bank dan nasabah serah terima barang
  5.  Bank dan nasabah kirim barang
  6. Nasabah membayar kewajiban kepada bank

Ketentuan Yang Ditetapkan Oleh Bank Syariah Mandiri Dalam Pembiayaan Murabahah

Bank Syariah Mandiri sebagai bank yang cukup besar dalam kontribusi pemberian pelayanan pembiayaan murabahah tidak menetapkan persyaratan yang menyulitkan untuk pihak nasabah. Hanya dengan memenuhi persyaratan umum yang ditetapkan dan pemenuhan mengenai unsur-unsur serta konsep dasar dari pembiayaan murabahah itu sendiri, maka nasabah yang bersangkutan akan mendapatkan pembiayaan Murabahah dari Bank Syariah Mandiri. Hal yang

terpenting mengenai objek dari pembiayaan murabahah oleh Bank Syariah Mandiri adalah harus jelas barang objek yang dimaksud, fungsi dan manfaat serta implementasi objek tersebut dalam kegiatan usaha dari nasabah itu sendiri harus benar-benar jelas. Hal ini sesuai dalam penjelasan Pasal 2 point c Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

  1. Persyaratan dalam pengajuan Pembiayaan Murabahah

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah untuk Pembiayaan yang Konsumtif (pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan).[8]

Persyaratan yang harus dipenuhi jika nasabah berstatus:[9]

  1. Pegawai adalah:
    1. Identitas diri dan pasangan
    2. Kartu keluarga dan surat nikah
    3. Slip gaji 2 bulan terakhir
    4. SK Pengangkatan terakhir
    5. Copy rekening bank 3 bulan terakhir
    6. Data obyek pembiayaan
    7. Wiraswasta adalah:
      1. Identitas diri dan pasangan
      2. Kartu keluarga dan surat nikah
      3. Legalitas usaha
      4. Laporan keuangan 2 tahun
      5. Past performance 2 tahun terakhir
      6. Rencana usaha 12 bulan yang akan datang
      7. Data obyek pembiayaan

Selain pembiayaan konsumtif. yang ada juga pembiayaan produktif. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah untuk Pembiayaan yang Produktif (pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi)[10] dan nasabah berstatus :

  1. Badan Usaha adalah:
    1. Akte pendirian usaha
    2.  Identitas pengurus
    3. Legalitas usaha
    4.  Laporan keuangan 2 tahun
    5. Past performance 2 tahun terakhir
    6. Rencana usaha 12 bulan yang akan datang
    7. Data obyek pembiayaan
    8. Perorangan adalah:
      1. Identitas diri dan pasangan
      2. Kartu keluarga dan surat nikah
      3. Legalitas usaha
      4.  Laporan keuangan 2 tahun
      5. Past performance 2 tahun terakhir
      6. Rencana usaha 12 bulan yang akan datang
      7. Data obyek pembiayaan

Untuk jaminan, Bank Syariah Mandiri mensyaratkan berupa kelayakan usaha atau jaminan tambahan ataupun piutang. Jadi jaminan tidak harus berupa barang yang dibeli oleh bank untuk nasabah. Untuk hal jaminan bila sudah di Hak Tanggungan kan, maka Bank Syariah Mandiri mengusahakan agar dapat menjadi Kreditor Preference. Bila Barang jaminan sudah di fiduciakan kepada pihak lain, maka Bank Syariah Mandiri tidak dapat menerima barang tersebut

sebagai jaminan. Dalam ketentuan Bank Syariah Mandiri, hal-hal yang secara umum harus

dipenuhi dalam hal pembiayaan murabahah ini, yaitu:[11]

  1. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang
  2. .jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
  3. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
  4. Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank;
  5. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;
  6. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank;
  7. Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad;
  8. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.

Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah memiliki produk-produk pembiayaan yang bervariasi dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan riil pada diri nasabah, baik itu nasabah perorangan maupun badan usaha.

  1. 3.      Proses Pembiayaan Murabahah

Bank Syariah Mandiri dalam memberikan pembiayaan Murabahah yang merupakan jual beli, tentunya ada yang didapatkan oleh bank. Pendapatan bank dari proses ini disebut margin. Perlu dibedakan antara pendapatan dalam murabahah dengan pendapatan dari mudharabah dan musyarakah. Perbedaan tersebut terletak dalam peruntukkannya. Biasanya Mudharabah dan musyarakah dilakukan pembiayaan terhadap modal kerja. Hasil dari pembiayaan ini disebut bagi hasil atau nisbah. Sedangkan Murabahah prosesnya adalah Bank membelikan sesuatu atas kebutuhan nasabah dalam bentuk barang. Barang ini digunakan oleh nasabah untuk mendukung

dalam nasabah menjalankan usahanya. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan atas barang tertentu kepada bank. Setelah itu, Bank memberikan pembiayaan itu dengan memberlikan barang tersebut. Misalnya harga barang tersebut 100. Maka bank menghargai barang tersebut senilai 115 (harga jual sebesal 115). Pemberian margin sebesar 15 adalah berdasarkan kebijakan bank atas kemampuan nasabah dan kebijakan bank internal itu sendiri. Nilai 115 merupakan nilai gross yang terdiri atas harga pokok dan margin. Harga pokoknya adalah 100 sedangkan pendapatan margin bank adalah sebesar 15.

Nasabah dalam melunasi pinjamannya dilakukan dengan cara angsuran, (sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSNMUI/ IV/2000 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tentang Produk bank Syariah dan Unit Usaha Syariah) tentunya hal ini memberikan keringanan kepada nasabah. Sehingga diharapkan dengan diberikannya pelayanan oleh bank, nasabah dapat meningkatkan kesejahteraannya.

  1. 4.      Ketentuan Margin yang diterapkan dalam Pembiayaan Murabahah

Bank Syariah Mandiri dalam memberikan pelayanan kepada nasabah berupa pembiayaan murabahah memberikan margin dalam setiap pembiayaan yang dilakukan. Dalam menetapkan margin yang diberikan ke nasabah ada faktor yang menjadi pertimbangan dari Bank Syariah Mandiri yaitu :

  1. kemampuan nasabah
  2. kebijakan dari bank syariah mandiri

Misalnya harga suatu barang yang diinginkan oleh nasabah A untuk mendukung kegiatan usahanya senilai Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) maka bank memberikan pembiayaan murabahah kepada nasabah A. Bank membelikan barang tersebut untuk nasabah A, namun barang itu dihargai oleh bank senilai Rp. 115.000.000 (seratus lima belas juta rupiah). Dalam contoh ini bank menetapkan margin sebesar 15%. (Rp. 115.000.000 merupakan nilai gross yang terdiri atas harga pokok dan margin). Namun bila nantinya nasabah A mengalami usaha yang

tidak lancar, bank dapat menurunkan margin tersebut. Kebijakan ini diambil bank berdasarkan kemampuan nasabah dan kebijakan bank itu sendiri.

 

 

 

 

 

 

Rujukan:

H.Karnaen A.Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Prinsip Operasional

Bank Islam, (Jakarta:Risalah Masa, 1992)

Tim Pengembang Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk

Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta:Djambatan, 2003)

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta:Gema Insani,

2001)

http://www.syariahmandiri.co.id.

http://www.mui.or.id.

 

 


[2] Tim Pengembang Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk

Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta:Djambatan, 2003), hlm.77.

[3] ibid

[4] H.Karnaen A.Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Prinsip Operasional

Bank Islam, (Jakarta:Risalah Masa, 1992), hlm.72.

[5] Ibid., hlm.71.

[6] Ibid., hlm.72.

[7] Ibid., hlm.73.

[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta:Gema Insani,

2001), hlm.160.

[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit., hlm.160.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.